SATUKALTENG.COM – Kasus pembunuhan berencana satu keluarga di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yang dilakukan pelaku remaja berusia 16 tahun memicu pertanyaan besar soal apa hukuman yang setimpal bagi pelaku anak yang berbuat kejahatan luar biasa.
Pembunuhan ini juga memunculkan pertanyaan tentang apa tanda-tanda kekerasan berbasis gender atau femisida. Pasalnya kepolisian menyebut salah satu motif pelaku melakukan pembunuhan karena cintanya yang ditolak oleh korban RJS (15 tahun). Pengacara keluarga korban, Bayu Mega Malela, mengatakan apapun motifnya, tindakan pelaku merupakan kejahatan luar biasa dan patut dihukum seberat-beratnya.
Seperti apa kronologinya?
Kapolres Penajam Paser Utara (PPU), Supriyanto, mengatakan kasus pembunuhan terhadap satu keluarga beranggotakan lima orang di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten PPU ini terjadi pada Selasa (06/02).
Polisi menyebut kasus ini berhasil diungkap kurang dari dua jam setelah kejadian perkara.
Pelaku, sambung polisi, merupakan seorang remaja berusia 16 tahun berinisial J dan masih duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah kejuruan (SMK).
Dari pengakuan pelaku, sebelum melakukan aksinya dia sempat melakukan “pesta minuman keras” bersama sejumlah temannya.
Kemudian sekitar pukul 12 malam, pelaku pulang diantar oleh temannya. Namun begitu sampai di rumah, muncul niat untuk melakukan pembunuhan.
Supriyanto melanjutkan, pelaku lantas mengambil sebilah parang sepanjang 60 sentimeter di rumahnya dan pergi ke rumah korban yang jaraknya sekitar 20 meter.
Sebelum masuk rumah pelaku disebut sengaja memadamkan listrik di rumah korban.
Di rumah itu ada lima anggota keluarga yakni Waluyo (35 tahun) ayah dan kepala keluarga, SW (34 tahun) ibu, RJS (15 tahun) anak perempuan pertama, VDS (11 tahun) anak kedua laki-laki, dan ZAA (3 tahun) anak laki-laki bungsu.
Tapi pada malam itu, Waluyo sedang tidak berada di rumah.
Usai memadamkan listrik, pelaku masuk lewat jendela dan tak lama kemudian, Waluyo masuk ke rumah.
Di situlah pelaku langsung menyerangnya dengan parang.
“Jadi setelah sampai ayahnya langsung ditimpas, dihabisi dekat pintu. Ibunya bangun kemudian ditimpas juga. Kemudian anaknya bangun ditimpas lagi…,” ujar Supriyanto dalam konferensi pers.
“Lalu anak yang pertama di kamar sebelah, terakhir untuk memastikan bapaknya [yang masih hidup] ditimpas lagi.”
Polisi menyebut setelah pelaku melakukan pembunuhan, dia disebut memperkosa RJS yang sudah tak bernyawa.
“Kalau dari pengakuan pelaku, korban [anak pertama] sudah meninggal baru diperkosa. Jadi posisinya korban ditemukan dalam kondisi setengah telanjang, hanya mengenakan baju.”
Selain membunuh, memperkosa, pelaku juga mencuri ponsel dan uang korban.
Setelahnya dia pulang ke rumah, berganti pakaian dan membersihkan parang yang dipakai untuk membunuh.
Dia lantas berpura-pura melaporkan peristiwa itu ke kakaknya, kemudian mengadukan ke Ketua RT.
Pelaku membuat keterangan palsu
Supriyanto mengatakan pelaku awalnya memberikan keterangan bahwa ada lima hingga sepuluh orang mengendarai sepeda motor datang ke rumah korban membawa senjata tajam.
Tetapi keterangan itu berbeda dengan temuan polisi saat melakukan olah tempat kejadian perkara.
“Kalau mungkin terjadi pergumulan di TKP pasti ada tanda-tandanya. Tapi itu tidak ada sama sekali.”
“Sehingga kecurigaan itulah yang membuat apa yang dia sampaikan ini tidak didukung dengan bukti-bukti kuat. Sehingga saya mencurigai dia bohong,” jelasnya.
Pelaku juga sempat menunjukkan luka di tangannya untuk meyakinkan polisi bahwa dia sempat berkelahi dengan orang yang tak dikenal itu.
Namun setelah olah TKP terungkap bahwa luka tersebut akibat dari perbuatan pelaku sendiri.
“Ada [kena parang] ternyata tangan kanannya itu [luka] pada saat menimpas bapak korban karena parang itu tidak ada gagangnya sehingga kena tangannya sendiri.”
Polisi mengatakan lima korban yang tewas itu rata-rata mengalami luka di bagian kepala.
Apa motif pelaku?
Supriyanto menuturkan berdasarkan penyelidikan motif awal pembunuhan ini karena sakit hati atau dendam.
Kata dia, antara pelaku dengan keluarga korban sempat ada cekcok yakni masalah ayam. Korban juga menurut pelaku belum mengembalikan helm yang dipinjam selama tiga hari.
Persoalan lain, korban RJS disebut pernah menjalin hubungan asmara dengan pelaku. Tapi tak direstui oleh orang tua RJS lantaran remaja 15 tahun ini punya pasangan lain.
“Jadi sementara ini [motifnya] dendam karena percekcokan antar tetangga sebelah, permasalahan ayam, kemudian juga korban meminjam helm belum dikembalikan,” ujarnya.
Pengacara keluarga korban, Bayu Mega Malela, menjelaskan bahwa merujuk pada rekonstruksi yang dilakukan pada Rabu (07/02) diketahui bahwa pelaku tidak hanya melakukan pemerkosaan terhadap RJS, tapi juga ibu korban SW.
Saat rekonstruksi berlangsung, katanya, pelaku tidak memperlihatkan rasa penyesalahan.
“Kalau orang menyesal itu kan pasti menangis. Tapi ini tidak, biasa-biasa saja. Kalau kami sebut psikopat anak ini,” ujar Bayu kepada wartawan Hasanuddin yang melaporkan untuk dikutip dari Detikcom.
Menurutnya apa yang dilakukan pelaku adalah kejahatan luar biasa sehingga dia patut dihukum berat yakni hukuman mati.
“Sesugguhnya hukuman mati pun tidak cukup, karena sudah melakukan pembunuhan berencana, kemudian menyetubuhi korban dan mengambil barang korban.”
Barang yang diambil pelaku, sambungnya, adalah tiga telepon pintar dan uang tunai Rp300.000.
Apa itu femisida?
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan kejahatan berupa pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan pelaku terhadap dua korban yakni SW dan RJS disebut sebagai femisida.
Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Di Indonesia, kata Andy, kasus femisida meningkat baik dari segi jumlah maupun bentuknya. Namun sayangnya belum mendapat perhatian serius dan masih dipandang sebagai aksi kriminal biasa.
Kalau berkaca pada kasus-kasus sebelumnya, pelaku kejahatan femisida memiliki relasi intim dengan korban. Bisa suami, mantan suami, pacar atau mantan pacar.
Dan rata-rata tindakan femisida dilatari oleh “rasa sakit hati” yang diikuti oleh ancaman.
Alasannya beragam, kata Andy.
“Bisa karena cintanya ditolak atau karena si perempuan enggak mau rujuk setelah berpisah atau dalam situasi KDRT, penganiayaan dalam berpacaran.”
“Intinya si pelaku merasa memiliki si perempuan.”
“Karena konstruksi gender di masyarakat yang menempatkan maskulinitas, si laki-laki meyakini bahwa dia adalah subjek utama yang harus didengar pihak perempuan.”
Pemantauan Komnas Perempuan terhadap pemberitaan media daring sepanjang 2019 jumlah kasus femisida memprihatinkan yakni 145 kasus.
Kemudian sepanjang Oktober 2022 hingga November 2023, terdapat 159 pemberitaan yang mengindikasikan tindakan femisida.
Apakah ada cara mengenali pelaku femisida?
Andy Yentriyani mengatakan tak ada ciri saklek yang bisa menentukan apakah laki-laki tersebut akan melakukan kejahatan femisida.
Tapi setidaknya bisa dikenali dari perilakunya.
“Kalau dalam hubungan berpacaran, bisa kita lihat apakah dia posesif yang berlebihan. Ini bisa menjadi alarm dini yang harus diperhatikan apalagi jika menimbulkan pembatasan-pembatasan yang tidak nyaman.”
“Lalu apakah dia melakukan kekerasan secara fisik maupun psikis? Kalau saya akan menyarankan untuk lebih waspada jika ada ciri seperti itu, agar situasinya tidak memburuk dan mengarah pada kekerasan.”
Itu mengapa, Andy meminta publik tidak menghakimi korban dengan dalih bahwa perempuan sebaiknya tidak menolak cinta laki-laki dengan kasar atau sampai meyakiti hatinya.
Sebab yang menjadi inti masalahnya adalah pemahaman keliru laki-laki yang merasa bahwa perempuan adalah barang yang bisa dimiliki.
“Jadi selain mengoreksi cara pandang konstruksi gender, kita semua harus melakukan deteksi dini dari perilaku-perilaku yang bisa berakibat fatal.”
Apa hukuman yang setimpal untuk pelaku?
Andy Yentriyani tetap meminta polisi menyelidiki kasus ini dengan objektif.
Menurutnya, pernyataan polisi yang menyebut pelaku melakukan kejahatan karena dalam kondisi pengaruh minuman keras tak bisa dibenarkan.
“Pelaku minum-minuman keras sebuah peristiwa sendiri, tidak berarti dia di bawah pengaruh alkohol lebih beringas. Tapi situasi dia ingin melakukan kekerasan sudah hadir duluan sebelum peristiwa minum-minuman keras itu,” tegasnya.
“Sama seperti pemerkosaan, pelaku bilang karena habis nonton film porno. Justru dia nonton karena pelaku punya dorongan seksual yang ingin disalurkan.”
“Jadi bukan minuman faktor penyebabnya.”
Dalam kasus ini, Polres Penajam Paser Utara menjerat pelaku dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 60 ayat 3 juncto Pasal 76 huruf c UU Perlindungan Anak.
Ancaman hukuman mati atau sekurang-kurangnya penjara seumur hidup.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri, juga menilai kalau polisi ingin mengenakan Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana maka unsur yang patut dibuktikan adalah “adanya kesadaran penuh dari seorang pelaku kejahatan”.
Itu mengapa, katanya, polisi harus berhati-hati dalam menarasikan pelaku melakukan kejahatannya karena terpengaruh alkohol.
Sebab menurut dia, jika pelaku membunuh dalam keadaan mabuk, pasal yang mungkin dikenakan bukan pembunuhan berencana. Namun penganiayaan berat.
“Logikanya orang dalam keadaan mabuk tidak bisa membuat rencana. Perilakunya cenderung menjadi impulsif.”
“Demikian pula setelah saya baca kronologi peristiwa dan rangkaian perbuatan pelaku di TKP, tidak mencerminkan orang dalam kondisi mabuk.”
Terlepas dari itu semua, keluarga korban meminta pelaku dihukum seberat-beratnya.
“Sesungguhnya hukuman mati pun tidak cukup, karena sudah melakukan pembunuhan berencana, kemudian menyetubuhi dua korban dan mengambil barang korban,” ujar pengacara keluarga korban, Bayu Mega Malela.
(Ed,Tw)