Dikki Akhmar Hadir Untuk Masyarakat Kalteng

Rocky Gerung dan caleg DPR RI dapil Kalteng Dikki Akhmar saat dialog di ruang redaksi Radar Sampit, Jumat (2/2/2024).

SATUKALTENG.COM – Pengamat politik nasional yang juga akademisi Rocky Gerung menegaskan, tradisi ”bertengkar” harus dilakukan di Kalteng. Hal itu penting untuk membuka pikiran dan logika agar pembangunan di Kalteng bisa lebih maju melalui pemikiran masyarakat yang kian terbuka.

Hal itu disampaikan Rocky saat menyambang Radar Sampit bersama Dikki Akhmar, caleg DPR RI dapil Kalteng dari Partai Keadilan Sejahtera, Jumat (2/2/2024). ”Masih ada pragmatisme dan oportunisme di masyarakat Kalimantan Tengah. Kenapa itu bisa terjadi? Karena soal pendidikan,” ujarnya. Rocky melanjutkan, infrastruktur pertama untuk memuliakan demokrasi adalah pengetahuan rakyat sendiri oleh keadaan, bukan pengetahuan yang disodorkan partai politik. Hal tersebut memerlukan basis pendidikan. ”Saya pelajari, rata-rata usia sekolah di Kalteng itu masih ada yang lulusan SMP, ada yang lulusan universitas, tetapi secara statistik masih sangat rendah. Nah, itu yang ingin kami tingkatkan. Dan meningkatkan itu artinya memulai tradisi untuk bertengkar,” ujarnya.

Sementara itu, Dikki Akhmar mengatakan, dirinya keliling kabupaten di Kalteng bukan mencari suara, namun ingin tahu kondisi masyarakat setiap daerah. ”Ketika saya dipilih menjadi caleg di sini (dapil Kalteng), yang paling pertama saya lakukan, ingin tahu kondisi masyakat bagaimana, lingkungannya, problematikanya apa. Saya dengan Bung Rocky kunjungan ke pelosok, ke dalam hutan,” ujarnya. Menurut Dikki, dari kunjungannya, dia melihat ada masyarakat yang tiap hari ”rebutan” dengan monyet karena kebun sawit sudah menggeser hutan. ”Monyet itu cari makan di kampung masyarakat,” katanya. Ada juga masalah nelayan, karena kesulitan mendapatkan solar, akhirnya ada yang harus beli oli bekas, yang apabila digunakan di kapal bisa menimbulkan bunyi meledak. ”Boro-boro cari ikan, yang ada mengusir ikan,” ujarnya. Kemudian, persoalan sawit di Kalteng, hampir semua kabupaten mempunyai persoalan yang sama. Lahan yang tadinya APL, berubah menjadi hak pemanfaatan hutan.

Bacaan Lainnya

”Nah, ini kasihan, apakah mereka masih bisa memiliki kebun itu atau tidak, sementara kebun ada yang sudah ditanam 5 sampai 20 tahun,” katanya.

Pos terkait