PALANGKA RAYA – Polisi kembali menangkap komplotan penjarah buah sawit. Kali ini sembilan orang ditangkap di Lamandau, Kalimantan Tengah, karena tuduhan mencuri buah tandan sawit. Pencurian dilakukan secara berkelompok dan di siang hari.
Sembilan orang tersebut berinisial RL (45), B (21), S (36), J (21), YD (20), A (24), NK (39), F (23), dan F (28). Mereka mencuri buah tandan sawit menggunakan pikap dengan jumlah hampir 1 ton dari sebuah perusahaan perkebunan sawit.
Kepala Kepolisian Resor Lamandau Ajun Komisaris Besar Bronto Budiyono mengungkapkan, sembilan orang itu ditangkap dan saat ini sedang menjalani pemeriksaan. Saat ini, mereka berstatus tersangka dengan kasus pencurian.
”Saat ini kasusnya ditangani Polda Kalteng. Kejadian ini sudah sering dilakukan sejak tahun lalu. Dari informasi yang kami dapat, memang mereka diperintah oleh oknum. Oknum yang sama dengan kejadian serupa di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur,” kata Bronto saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa (6/2/2024).
Bronto menjelaskan, sembilan orang itu ditangkap petugas pada Sabtu (3/2/2024). Saat ini, kasusnya ditangani Polda Kalteng lantaran kejadian ini masif dan terstruktur terjadi di beberapa wilayah Kalteng.
”Kami pernah mengantisipasi kejadian serupa tahun lalu yang dilakukan oleh masyarakat dari luar Lamandau. Mereka di-backing-i oleh oknum ormas,” kata Bronto.
Kejadian serupa terjadi di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur sejak Desember 2023. Catatan tim Kompas, data yang dihimpun dari Polres dan Polda di Kalteng, setidaknya terdapat delapan kasus serupa dengan puluhan pelaku pencurian.
Sebelumnya, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran menilai, aktivitas itu merupakan bentuk penjarahan yang mengancam iklim investasi di Kalteng. Ia mengimbau aparat untuk bisa mencegah kejadian tersebut berulang. Menurut dia, jumlah kasus penjarahan itu lebih banyak daripada data yang termuat di media.
”Saya memaklumi, (dalam) kurun waktu 2 tahun ini penjarahan sawit paling banyak terjadi di Kabupaten Seruyan. Mudah-mudahan pimpinan daerah bisa berdialog dengan masyarakat. Gunakan wewenang kalian agar hak masyarakat ini bisa terpenuhi. Sehingga, berikan saran kepada pihak kebun agar nyaman dan aman serta kebutuhan masyarakat terpenuhi,” tutur Sugianto.
Sugianto menilai, penjarahan ini merupakan dampak dari konflik yang belum usai antara perusahaan perkebunan dan masyarakat. ”Sebentar lagi pemilu, tolong jaga kondusifitas,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Palangkaraya Aryo Nugroho mengungkapkan, fenomena penjarahan sawit itu merupakan puncak keterhampaan hak. Keterhampaan hak itu membuat warga membangkang terhadap hukum.
”Kami menilai (fenomena penjarahan) ini terjadi karena ketimpangan agraria yang kian kronis di Kalteng,” kata Aryo.
Aryo menambahkan, bagi pemerintah, fenomena penjarahan ini hanya peristiwa biasa dan terbatas pada tindakan kriminal sejumlah atau sekelompok orang. ”Padahal, masalah sebenarnya adalah ketimpangan tanah dan saatnya reforma agraria harus hadir di Kalteng,” katanya.
Pengamat hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Jakarta, Sadino, mengungkapkan, fenomena penjarahan buah sawit bisa jadi merupakan dampak dari tidak tersedianya plasma untuk rakyat. Akan tetapi, pengusaha saat ini dilema soal plasma kebun sawit karena keterbatasan lahan.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), lanjut Sadino, plasma sawit saat ini tidak perlu dalam bentuk lahan dan bisa diganti dengan bentuk lain, bahkan tak hanya uang. ”Kalau pemerintah, misalnya, menilai 1 hektar lahan itu sama dengan dua sapi atau perikanan, bisa saja. Tinggal dibuat regulasinya,” kata Sadino.
Walakin, kata Sadino, semua kembali ke pemerintah. Pengusaha pasti bisa mengikuti regulasi yang ada jika tidak memberatkan mereka.
(Yunita)