6 Kecamatan di Barito Utara Terendam Banjir

Pantauan dari udara pemukiman di kota Muara Teweh yang terendam banjir. Foto: Drone_Batara.

SATUKALTENG, Muara Teweh – Hingga saat ini, banjir masih menjadi masalah yang tak kunjung teratasi di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Selama satu dekade terakhir di bawah kepemimpinan Nadalsyah Koyem, banjir menjadi persoalan tahunan yang belum menemukan solusi nyata. Banjir parah sudah tercatat terjadi sejak 2016, dan setiap tahunnya air terus merendam ribuan rumah warga di wilayah ini.

Pada Oktober 2024, banjir kembali melanda Muara Teweh setelah hujan deras mengguyur wilayah ini, ditambah kiriman air dari hulu Sungai Barito di Kabupaten Murung Raya. Banjir kali ini merendam enam kecamatan, yaitu Lahei Barat, Lahei, Teweh Tengah, Teweh Baru, Teweh Selatan, dan Montallat, dengan ketinggian air mencapai dua meter di beberapa lokasi.

“Airnya mencapai ketinggian dada orang dewasa, dan saat ini terdapat potensi risiko terhadap 75 gardu distribusi listrik di 3 kecamatan yang terdampak,” ujar Rijali Hadi, Kabid Kedaruratan dan Bencana BPBD Barito Utara, Selasa (22/10/2024). Upaya darurat telah dilakukan untuk mengevakuasi warga yang terdampak serta mengamankan infrastruktur penting, seperti gardu listrik, untuk mencegah bahaya lebih lanjut.

Pada tahun 2016, bencana serupa pernah terjadi ketika banjir bandang merendam ribuan rumah akibat hujan lebat yang mengguyur Muara Teweh. Menurut Camat Teweh Timur, saat itu ketinggian air berkisar antara 1 hingga 4 meter. Bencana ini mengakibatkan kerugian yang besar bagi masyarakat setempat, namun banjir terus berulang hingga sekarang.

Masyarakat mulai mempertanyakan apakah banjir yang terus terjadi di Muara Teweh disebabkan oleh aktivitas tambang batu bara yang semakin meluas di wilayah Barito Utara. Aktivitas penambangan, terutama di daerah hulu sungai, diduga menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi hidrologis di kawasan tersebut.

Tambang batu bara dapat menyebabkan degradasi lingkungan dengan merusak ekosistem alami, termasuk hutan dan lahan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Ketika lahan terbuka akibat penambangan, kemampuan tanah untuk menyerap air hujan menurun drastis. Akibatnya, air hujan yang seharusnya terserap oleh tanah mengalir langsung ke sungai, mempercepat kenaikan debit air sungai, dan memperbesar potensi banjir, terutama di wilayah hilir seperti Muara Teweh.

Selain itu, sedimentasi yang dihasilkan dari aktivitas tambang juga berpotensi menyumbat aliran sungai, membuat sungai menjadi lebih dangkal, dan meningkatkan risiko meluapnya air ke permukiman warga. Hal ini diperburuk oleh kurangnya pengelolaan lingkungan yang efektif dari perusahaan tambang, sehingga dampaknya semakin dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Mengatasi banjir di Muara Teweh bukanlah perkara mudah, terutama dengan adanya faktor-faktor lingkungan yang semakin rumit seperti deforestasi akibat tambang. Meski pemerintah daerah telah berupaya melakukan penanganan banjir, seperti membangun tanggul atau memperbaiki drainase, tindakan tersebut belum cukup untuk menangani masalah banjir secara menyeluruh.

Salah satu kendala utama adalah minimnya pengawasan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh tambang batu bara. Hingga saat ini, belum ada regulasi yang benar-benar tegas untuk mengendalikan aktivitas tambang yang dapat mempengaruhi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan tinggi di wilayah tersebut juga menjadi faktor eksternal yang mempersulit upaya pencegahan banjir.

Kedepannya, diperlukan kebijakan yang lebih ketat terhadap aktivitas penambangan serta upaya restorasi lingkungan yang berkelanjutan untuk mengurangi dampak banjir. Selain itu, perencanaan tata kota yang lebih baik, termasuk penyediaan infrastruktur anti-banjir yang memadai, juga menjadi solusi penting untuk mencegah terulangnya bencana banjir di masa depan.

Banjir yang terus melanda Muara Teweh hingga tahun 2024 ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama terkait dampak tambang batu bara di Barito Utara. Aktivitas tambang yang merusak lingkungan diperkirakan menjadi salah satu penyebab utama banjir yang sulit diatasi. Selama belum ada regulasi yang jelas dan tegas serta pengelolaan lingkungan yang baik, banjir tahunan ini mungkin akan terus menjadi momok bagi masyarakat Muara Teweh dan sekitarnya.

Simak Berita lainnya dari Satu Kalteng di Google Berita

Pos terkait